Pendahuluan – Apa itu Sistem Jaminan Halal (SJH)
Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan kerangka kerja yang dirancang oleh MUI untuk memastikan bahwa produk yang diajukan oleh pelaku usaha memenuhi prinsip-prinsip kehalalan sesuai dengan syariat Islam. SJH berfungsi sebagai panduan bagi perusahaan dalam:
- Mengelola bahan baku halal.
- Memastikan proses produksi sesuai dengan standar kehalalan.
- Meminimalkan risiko kontaminasi bahan non-halal.
Ada 11 Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH), yaitu:
- Kebijakan Halal
Manajemen Puncak harus menetapkan Kebijakan Halal dan mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku kepentingan (stake holder) perusahaan. - Tim Manajemen Halal
Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen Halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis serta memiliki tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas. - Pelatihan dan Edukasi
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan. Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun sekali dan pelatihan eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun sekali. - Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi tidak boleh berasal dari bahan haram atau najis. Perusahaan harus mempunyai dokumen pendukung untuk semua bahan yang digunakan, kecuali bahan tidak kritis atau bahan yang dibeli secara retail. - Produk
Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI. Merk/nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Produk pangan eceran (retail) dengan merk sama yang beredar di Indonesia harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi, tidak boleh jika hanya didaftarkan sebagian. - Fasilitas Produksi
- Industri pengolahan:
- Fasilitas produksi harus menjamin tidak adanya kontaminasi silang dengan bahan/produk yang haram/najis;
- Fasilitas produksi dapat digunakan secara bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang berasal dari babi/turunannya, namun harus ada prosedur yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.
- Restoran/Katering/Dapur:
- Dapur hanya dikhususkan untuk produksi halal;
- Fasilitas dan peralatan penyajian hanya dikhususkan untuk menyajikan produk halal.
- Rumah Potong Hewan (RPH):
- Fasilitas RPH hanya dikhususkan untuk produksi daging hewan halal;
- Lokasi RPH harus terpisah secara nyata dari RPH/peternakan babi;
- Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal;
- Alat penyembelih harus memenuhi persyaratan.
- Industri pengolahan:
- Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang dapat mempengaruhi status kehalalan produk. Aktivitas kritis dapat mencakup seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan peralatan pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan produk, transportasi, pemajangan (display), aturan pengunjung, penentuan menu, pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan proses bisnis perusahaan (industri pengolahan, RPH, restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas kritis dapat dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain. - Kemampuan Telusur (Traceability)
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari bahan babi/ turunannya). - Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk yang tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak dijual ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan jika terlanjur dijual maka harus ditarik. - Audit Internal
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit internal pelaksanaan SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor halal internal yang kompeten dan independen. Hasil audit internal disampaikan ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. - Kaji Ulang Manajemen
Manajemen Puncak atau wakilnya harus melakukan kaji ulang manajemen minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan untuk menilai efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.
Perubahan dari Sistem Jaminan Halal (SJH) ke SJPH
Seiring berjalannya waktu, pemerintah melalui BPJPH mengambil langkah untuk menyederhanakan sistem ini menjadi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Sistem baru ini bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas sertifikasi halal, khususnya bagi UMKM, tanpa mengurangi standar kehalalan produk.
SJPH mengeliminasi beberapa kriteria dalam SJH yang dianggap terlalu rumit dan menggantinya dengan 5 kriteria utama yang lebih sederhana dan aplikatif. Lima kriteria SJPH adalah:
- Kebijakan Halal Perusahaan.
- Tim Penanggung Jawab Halal.
- Bahan dan Produk.
- Proses Produksi Halal.
- Pelaksanaan Pengawasan Halal Internal.
Tantangan Implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)
Meskipun transformasi ini membawa banyak manfaat, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi:
- Edukasi dan Sosialisasi
Pelaku usaha, khususnya UMKM, membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kriteria baru dalam SJPH. - Ketersediaan Auditor Halal
BPJPH harus memastikan jumlah auditor halal yang memadai untuk menangani permohonan sertifikasi yang terus meningkat. - Digitalisasi yang Merata
Tidak semua daerah memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan infrastruktur pendukung aplikasi SIHALAL.
Kesimpulan
Transformasi dari SJH 11 kriteria menjadi SJPH 5 kriteria merupakan langkah strategis yang diambil pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas sistem sertifikasi halal di Indonesia. Penyederhanaan ini tidak hanya mempermudah pelaku usaha, terutama UMKM, tetapi juga memastikan bahwa kehalalan produk tetap menjadi prioritas utama sesuai dengan syariat Islam.
Namun, untuk memastikan keberhasilan implementasi SJPH, diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas. Edukasi yang berkesinambungan serta dukungan infrastruktur yang memadai akan menjadi kunci dalam mewujudkan ekosistem produk halal yang lebih baik di masa depan.
Sumber : halalmui.org
Baca juga : SJPH